Ad Code

Responsive Advertisement

Lanting Jamban

 


 

Sabtu ketiga bulan oktober datang dengan kesegaran cahaya sengitnya yang seakan menghilangkan rona orange pagi, saking teriknya. Pertanda awal, air akan surut, dan permainan bola voli setiap petang kembali menjadi tempat yang ramai berisi gelak tawa yang meriah sembari menunggu gengset desa dinyalakan untuk kemudian menyantap makan malam beserta nyalanya televisi untuk sekedar melihat sinetron percintaan yang selalu kandas akibat perselingkuhan, harta atau perebutan kekuasaan. 

 

Hilir mudik naik perahu kecil membuat lelah sebadan, perut meraung minta makan. Nasib, bujang yang kini libur belajar. Bangun pagi selalu mencari-cari kesibukkan supaya badan bisa digerakkan agar malas tidak bersarang. 

 

Sepulang dari hilir memetik segala macam yang mampu dipetik, ada kangkung merah dan putih, pucuk pakis, dan pisang tua. Ada yang menarik dari cara mengambil pisang kali ini. Nanti aku ceritakan. Aku mampir di rumah Adello, anak kecil yang begitu imut. Selalu kubilang bahwa dia anakku, hanya saja dulu kutitipkan dan sekarang aku datang mengambilnya. Adello adalah anak yang tumbuh tanpa mampu mengenali wajah ibunya, berhubung sejak berumur enam bulan dia dibesarkan oleh tantenya sesaat setelah Ibunya berpulang. 

 

Aku mengendongnya untuk naik ke perahu agar dia tidak basah sepertiku. Adello beserta sayur mayur tadi berada dalam perahu mungil berwarna cokelat pekat kehitaman, warna asli dari kayu ulin yang banyak tumbuh di kalimantan. Terlihat sangat anggun, seorang perempuan cilik beserta tumbuhan menyatu dengan aliran air. Indah. Kemudian ku tarik menuju rumah, dan tentu saja sepanjang jalan aku harus berhati-hati agar tidak terpeleset karena lumut yang semakin tebal menempel di jalanan.

 

Setibanya di rumah, perahu kuparkir dan kuikat di tiang teras agar tidak hanyut kemana-mana. Adello pun turun dengan langkah kecil dan tangannya memegang tanganku agar tetap seimbang. Dia turun kemudian sayur pun kuturunkan, kami masuk bersama ke dalam rumah. 

 

Pucuk pakis segera kupetik menggunakan pisau tumpul yang baru diasah ketika benar-benar sudah tidak mampu melukai sayur. Satu per satu daunnya kutanggalkan dari batang memenuhi baskon kecil berwarna biru milik tetangga yang belum juga kukembalikan padahal sudah sangat lama aku diberikan sayur menggunakan wadah tersebut. Dan seorang remaja yang selalu menemaniku di rumah membantu mengiris-ngiris kangkung putih untuk diolah menjadi gorengan (bakwan) berhubung masih ada sesendok terigu sisa kemarin, sayang jika tidak dimanfaatkan. 

 

Minyak dipanaskan, sesaat setelah merica, ketumbar, garam dan bawang merah disatukan dengan kangkung tadi yang telah diaduk bersama terigu. Kini, bakwan siap untuk dijejerkan di atas wajan pinjaman yang telah dipakai berbulan-bulan. Sembari menunggu gorengan, aku mengiris bawang merah lagi untuk tumisan pucuk pakis. 

 

Bakwan selesai dengan dua kali gorengan yang menghasilkan dua belas bulatan amburadul dengan rasa yang enak. Makyus! Aku mengambil alih wajan, mula-mula kupanaskan minyak sebanyak dua suduh, lalu kumasukkan irisan bawang merah sebanyak tiga siung. Kemudian aroma semerbak pun mencuat memberitahukan bahwa sayur siap untuk bergabung dengan mereka. Bawang-bawang tersebut seolah berbicara dalam bahasa kalbu. 

 

Langsung saja petikan demi petikan yang masih terendam air cucian kutiriskan sesaat sebelum kulemparkan dengan kejauhan tiga puluh sentimeter dari wajan. Takut kalau-kalau minyak meledak dan membuat perih kulit. Maklum saja sudah terlalu banyak bintik-bintik melepuh akibat ledakan minyak panas ketika mengoreng ikan. Uh! Semuanya telah berada di wajan, sisa mengaduk agar matangnya merata. Bolak-balik, lama-lama semua menjadi layu, sudah waktunya untuk memasukkan garam dan saus tiram. Dua bumbu rahasia dalam masakkan tumis ala aku. 

 

Semua makanan berada di tengah-tengah, ada tumis pucuk pakis, gorengan kangkung dan tentu saja nasi putih yang sudah sejak pagi dimasak. Makan pagi yang dilaksanakan siang hari benar-benar memberi nikmat luar biasa, makan pas perut lagi lapar-laparnya memang paling nikmat. Tiada suara terdengar, dua perempuan mengunyah dengan syahdunya seolah sedang berdoa dengan sungguh-sungguh. Sewajan kecil sayur tumis ludes, begitu pun dengan sepiring penuh gorengan. Syukur, perut kenyang lagi setelah berjuang dari pagi mencari bahan untuk bisa dimakan.

 

"Mau berak bu"

"Inggih berak ja di WC"

"Kadak, ulun mau di sungai ja"

"Kenapa? Kan bagus di WC"

"Bau bu"

 

Adello yang kekenyangan ingin menunaikan hajat hanya saja tidak ingin di WC rumahku. Ia bersikeras hendak ke sungai karena buang air besar di sana tidak akan mencium aroma busuk bersebab sampah perut langsung dihanyutkan tanpa sempat dihirup. Wah! Anak yang cerdas. Segera aku mengantarnya menuju pinggiran sungai, dan masuk ke dalam Lanting jamban. 

 

Lanting jamban yang berdiri di atas permukaan sungai yang terbuat dari beberapa lembar kayu dengan tinggi sedada orang dewasa tak berpengatap dan juga hanya memiliki tirai yang terbuat dari kain bekas spanduk pemilihan presiden memang masih menjadi tempat paling diincar setiap pagi oleh orang-orang yang mules. Iya, itu tadi alasannya. Praktis, langsung bisa membersihkan tanpa menunggu air kran menggisi ember dan tidak akan ada aroma bau tidak sedap yang kadang bikin pikiran melayang-layang entah kemana. Dunia perjambanan selalu disibukkan setelah mentari menyapa dunia, untunglah ini siang jadi tidak harus antri. Adello pun selesai dan keluar dari jamban dengan raut muka bahagia beserta senyum sumringah karena perutnya kembali bersih dan siap untuk menampung pengetahuan lewat makan malam yang sebentar lagi akan tiba.

Posting Komentar

0 Komentar