Ad Code

Responsive Advertisement

Harmonika Nyata


Alunan napas berdendang sesuai tarikannya menghasilkan bunyi-bunyian merdu mengetarkan hati, mengiris sembilu meraung inti. Ada kisah dalam irama yang sedang berbicara kepada telinga yang nun jauh di sana. Betapa rindu meronta dalam keheningan kata. Mencipta jeda sebagai tanda baca kehidupan agar pola huruf bisa membentuk kata terangkai makna dalam sebuah kalimah.

Siang ini selepas mengistirahatkan tubuh yang lelah bergerak dari subuh hingga pagi menjelang siang aku teringat akan harmonika milik Miss Indi yang ku pinjam dengan spontan saat melihatnya. Ingatanku langsung berlari kencang merindu akan bapak. Suara harmonika termerdu yang pernah ku dengar bersumber dari bapak. Ku raih harmonika merah bercampur hitam kemudian ku simpan di lemari kayu milik second story.

Sebelum dhuhur ku laksanakan, ku sempatkan bermain harmonika barang sebentar berharap nada merdu kecilku bisa ku lakonkan kembali. Harmonika segera ku tiup dan ku sedot sesuai cara bermainnya tiup sedot begitu sampai nada yang terdengar bisa seimbang dan ini tidaklah mudah. Ah! Aku sudah lupa cara bermain harmonika batinku menggerutu. Aku hanya berhasil memainkan nada dasar paling sederhana. Tidak ada tembang dari penyanyi terkenal yang bisa ku mainkan, padahal niat hati ingin membunyikan harmoni dari lagi Slank yang berjudul "Terlalu manis".

Meniup keluar dan menyedot kedalam, tiba-tiba aku tersentak dengan permainan harmonika ini. Hampir sama dengan gejala kehidupan sekarang. Setelah kami puas bahkan ada yang masih kurang puas berkeliaran diluar rumah, kini kami diarahakan untuk tetap tinggal di sangkar emas berhari-hari lamanya hingga tak jarang jenuh mengintai. Bahkan tak segan untuk bertamu, berbual hingga meminta izin mengginap berhari-hari.

Di sudut kota ini aku belajar menjadi seorang pembaca, ku eja setiap huruf yang terbentang luas. Hingga mampu menyalakan suluh kehidupan di kota milikku yang telah lama mati dan kosong. Padahal aku bertumbuh di kota metropolitan yang bisingnya membuat pekak telinga, lampu kerlap-kerlip membuat silau mata, tinggi gedung membuat cahaya matahari pagi terhalang, dan kehidupan manusia yang serba buru-buru membuatku hampir mati, tidak ada kata berjalan di kota, yang ada hanyalah kata berlari secepat-cepatnya dengan segala macam cara.

Kota dengan segala kesibukkannya. Mulai dari bangun harus cepat, berburu di jalan hingga emosi terlatih untuk selalu tinggi, sabar dihilangkan demi sampai tepat waktu atau kalau tidak, harus rela upah dipotong. Ada pola disiplin yang begitu kuat di kota. Pola yang memaksa setiap individu hidup di atas kaki sendiri tanpa kaki orang lain, apakah kaki mereka beralaskan sandal atau bertelanjang kaki. Menurut sebagian besar mereka yang terpenting adalah sepatu pentofel tetap terpasang di kaki-kaki mereka setiap harinya. 

Aku pernah begitu jatuh cinta dengan manusia kota, segala-segalanya terasa begitu dekat dengan mereka, ada gedung sekolah berlantai banyak, kampus bermenara tinggi, pusat belanja berpendingin dan pasar yang tidak lagi berbau amis karena ikan sudah dibekukan. Hingga aku sendiri mengabdikan diri di kota barulah aku tahu bahwa hidup dalam kesibukkan diri sendiri pada akhirnya mematikan rasa, begitu rasa mati hilanglah kemampuan membaca huruf-huruf alam yang sering didendangkan angin mewujud puisi bernada harmonis layaknya bunyi yang dihasilkan oleh harmonika.

Pare, 26 April 2020


Posting Komentar

0 Komentar