Ad Code

Responsive Advertisement

Hujan dan Teh


Siang ini suara hilang dari sekitarku. Berganti hening membuat daya nalar semakin peka. Ada apa? Aku lupa, manusia sedang diserang musuh. Alih-alih menguatkan pertahanan yang ada mala bersembunyi. Mental dijatuhkan badanpun luruh kemudian. Kini, musuh berlenggang-lenggong memasuki area tanpa ada yang siap berjaga. Bisa dipastikan musuh menang berdiri tanpa perlawanan.

Mata memandang sekeliling, melihat banyak tatapan curiga seolah meremas hati, seluruh sudut diarahkan kosong, entah biar apa. Kondisi mencengkam hari, ketakutan disebar luaskan bak candaan lucu-lucuan. Kalau akal hilang nalar memang sulit diajak berbincang. Melawan bukanlah hal yang patut, hanya saja jika itu yang tersisa maka wajib dilakukan.

Panci besar penuh, air kran telah ku tutup. Waktunya merebus air. Didih memakan waktu sepersekian menit, untung hujan datang selalu tepat waktu menemani. Ku tatap dingin bulir bening yang jatuh tanpa putus, terpercik akan airnya meresap sejuk hingga ke hati, tanpa sadar air telah mendidih. Ku tadah di gelas tinggi berwarna kuning berisi kantung teh berjenama jadul, kali ini bukan pagi yang menemani seduhan tehku. Hatiku sungguh sendu menikmati ruang kosong serasa hampa mirip pagiku tanpa puisimu.

Teh. Sudah hampir habis ku sesap, tidak ada manis tersisa dilidah. Tidak ada yang bisa ku bicarakan perihal teh kali ini. Nona pemilik kata puitik hilang ditelan hening. Kini, ia berwujud perempuan merah dengan darah mendidih, jiwanya penuh marah melihat tumbuh suburnya ego. Dunia ingin berubah dan mengubah segala yang ada diatasnya. Dan yang tersisa adalah yang siap menjadi pengurus bumi.

Hujan. Kali ini kau indah, menangismu begitu halus hingga banyak yang tidak mampu merasakannya. Menangis saja, tumpahkan segala luka perihmu. Tak usah tersinggung dengan mereka yang abai. Ada aku yang siap mendengarmu bersama segelas teh hangatku yang mulai mendingin.

Posting Komentar

0 Komentar